Cerpen: PERJUANGAN ALANA

PERJUANGAN ALANA

Oleh Eunike Dita Chinta

(Siswi UPTD SMP Negeri 3 Tobadak)

 

Di samping sebuah halte bus, ada seorang gadis kecil, tubuhnya mungil, berumur sekitar 5 tahunan sedang duduk sambil menangis dan membenamkan wajahnya di kedua kakinya. Ia terus menangis, menangis, dan menangis, tanpa henti. Tak ada orang yang menolong ataupun menghampirinya. Mereka hanya berlalu-lalang, tanpa mempedulikannya. Mereka seakan-akan buta sehingga tak melihat ada seorang gadis kecil nan mungil yang membutuhkan pertolongan.

Satu jam berlalu. Gadis mungil itu masih menangis tersedu-sedu, tanpa adanya orang yang menghibur atau membantunya. Akhirnya ada seorang pria dengan badan yang tinggi dan tegap menghampirinya. Umur pria itu sekitar 30 tahunan. Pria itu berdiri menatap ke bawah, di mana gadis kecil itu berada. Gadis kecil itu sempat mendongakkan kepalanya, untuk melihat siapa yang sedang berada di hadapannya. Ia menatap pria tersebut dengan mata berbinar. Seketika senyum lebar terlukis di kedua sudut bibir gadis itu walaupun kedua matanya masih sembab karena menangis. Seakan-akan ia telah menemukan orang yang telah lama ia tunggu. Ia segera bangkit, berdiri dan memeluk pria tersebut.

"Papa!! Papa dari mana saja? Alana udah lama nungguin Papa," ucapnya parau sambil menitikkan air mata.

Yah, nama gadis mungil itu adalah Alana. Kehidupan masa kecilnya, yang harusnya indah telah direnggut oleh kedua orangtuanya yang menelantarkannya. Namun, karena kepolosan yang dimilikinya membuat ia berpikir bahwa orang tuanya hanya pergi meninggalkannya untuk sebentar saja. Padahal orang tuanya sudah pergi meninggalkan dan menelantarkannya di jalanan.

Alana terus mempererat pelukannya kepada pria tersebut dan terus menanyakan mamanya di mana, namun tak mendapat jawaban dari pria tersebut. Setelah beberapa menit, Alana melonggarkan pelukannya. Pria yang Alana peluk tadi tiba-tiba berjongkok, berusaha menyamakan tingginya dengan Alana. Seketika Alana menjadi kaget, ternyata pria tersebut bukanlah Papanya.

"Nak, Om bukan Papa kamu, nama kamu siapa?" tanya pria tersebut kepada Alana.

"Maafin aku yah Om, ternyata Om bukan Papa aku," ucap Alana. "Nama aku Alana Om", ucapnya lagi.

"Wah nama kamu bagus banget, kenalin nama Om, Andi," ucap pria itu sambil mengulurkan tangannya untuk berkenalan dan dibalas oleh Alana.

"Oh iya, Alana ngapain di sini sendirian, udah gitu nangis lagi?" tanya pria itu.

"Alana lagi nungguin Papa sama Mama, Om. Mereka udah lama perginya tapi nggak balik-balik," jawab Alana.

"Alana ikut ke rumah Om yah. Di luar sini dingin, bahaya lagi," ucap Andi. "Di rumah Om, Alana bisa nungguin Ayah dan Bunda Alana dengan baik, mau yah?" bujuknya.

"Tapi Alana takut Om," jawab Alana.

"Alana nggak usah takut, Om bukan orang jahat kok, Om janji bakal jagain Alana sampai Papa dan Mama Alana pulang lagi," ucap Andi sambil mengangkat jari kelingkingnya.

"Ya udah Alana mau," ucap Alana membalas janji kelingking Andi.

Alana pun ikut bersama Andi ke rumahnya setelah Andi membujuknya. Andi melakukan semua itu karena ia tahu bahwa orang tua Alana tidak akan kembali lagi. "Mengapa ada orang tua yang sekeji itu, menelantarkan anak mereka?" Kata-kata tersebut terus terngiang-ngiang di kepala Andi. Tak mau terlalu memikirkannya, Andi segera membuang pikiran tersebut. Mungkin saja mereka tak sanggup untuk membiayai Alana. Dan mungkin ini takdir Tuhan mempertemukan Alana dengannya agar ia bisa mengurusnya dengan baik, pikirnya. Andi segera naik ke motornya yang ia parkir tak jauh dari tempat tadi. Tak lupa juga ia menaikkan Alana. Mereka pun berlalu pergi menuju rumah Andi.

Sesampainya di rumah, Andi segera memanggil Putri, istrinya, dan memperkenalkan Alana kepadanya. Ia juga meminta tolong untuk dibantu membersihkan Alana. Namun, Putri justru tak suka dengan kehadiran Alana. Ia merasa dengan adanya Alana, akan menambah beban mereka. Menurutnya, hidup berdua saja susah apalagi jika ditambah satu lagi yaitu Alana. Andi terus membujuk Putri, untuk menerima Alana, hingga Putri pun mau menerima Alana, namun dengan hati kesal dan marah. Ia pun membantu Alana bersih-bersih dengan terpaksa. Di saat Putri dan Alana berada di kamar berdua, Putri mengecek keadaan, untuk memastikan suaminya tidak mendengarnya, ia bersiap untuk memarahi Alana.

"Eh, anak jalanan, jangan harap yah kamu bisa hidup enak di sini," ucapnya. "Saya nggak akan biarin kamu bisa hidup dengan gratis di rumah saya," ucapnya lagi dengan marah dan pergi meninggalkan Alana sendirian di kamar itu. Alana hanya gadis polos yang hanya bisa menangis ketika mendapat perlakuan kasar seperti itu. Namun, di balik kepolosannya itu ia menyimpan kekuatan yang besar. "Alana harus kuat, Papa dan Mama pasti bakal datang menjemputku," ucapnya tersenyum dan terus berharap. Walaupun harapan itu tak lagi mungkin terjadi.

Hari berganti bulan, bulan berganti tahun, Alana kini tumbuh menjadi gadis cantik, yang usianya kini mencapai 19 tahun. Rambutnya panjang, bulu matanya lentik, dan kulitnya putih bagaikan susu. Ia juga sudah tumbuh menjadi gadis kuat, dengan siksaan yang telah ia terima selama 14 tahun, selama ia tinggal dengan keluarga Andi.

"Alana!! Baju aku mana?" panggil Putri dengan nada tinggi. Yah, inilah yang setiap hari Alana terima dari Putri, ketika Andi tak ada di rumah, Putri akan selalu menjadikan Alana sebagai pembantunya. Namun, Alana menerima itu semua karena ingin membalas budi Andi yang sudah merawatnya sedari kecil. Hingga suatu hari, Alana memutuskan untuk pergi mencari orang tuanya.

"Om Andi, Tante Putri, Alana izin pamit yah, Alana mau nyari orang tua Alana," ucap Alana dengan sedih.

"Kamu yakin Nak, kamu bisa hidup sendiri di luar sana?" tanya Andi khawatir.

"Iya Om, Alana bisa kok jaga diri, lagian Alana kan udah besar," ucap Alana meyakinkan.

"Terima kasih yah Om, Tante, udah ngerawat Alana dengan baik, Alana harus pergi," ucapnya lagi sambil menyalimi Andi dan Putri. Alana berjalan meninggalkan mereka. Ia berhenti dan berbalik, mengingat kenangannya di rumah Andi sedari ia masih berusia lima tahun. Ia menyunggingkan senyumnya kepada Andi dan berlalu pergi.

Setelah kepergian Alana, Andi menjadi sedih. Gadis mungil yang ia jumpai dulu dan memberikan kebahagiaan kepadanya kini telah pergi meninggalkannya. Namun, Putri istrinya justru merasa senang karena bebannya selama ini sudah pergi.

Alana terus berjalan meninggalkan rumah Andi. Di tengah terik matahari yang menusuk tulang, Alana tetap kuat dan terus berjalan tanpa tujuan. Jikalau dulu pemuda atau pemudi harus berjuang melawan penjajah maka sekarang Alana sebagai seorang pemudi harus berjuang sendiri untuk menghadapi kerasnya kehidupan. Ia harus berjuang dan kuat untuk mencari kedua orang tuanya walaupun ia harus berhadapan dengan bahaya apapun. Ia semakin jauh berjalan dan semakin diterpa sinar matahari. Wajahnya menjadi pucat dan keringat bercucuran di dahinya. Tiba-tiba, pandangan Alana menjadi kabur. Ia pun seketika ambruk tak sadarkan diri.

Di tempat lain, di sebuah rumah mewah, seorang pria berumuran 50 tahunan sedang bersiap dengan rapi untuk berangkat bekerja. Ia adalah Pak Chandra, seorang CEO di sebuah perusahan terbesar kedua di kota Jakarta. Setelah bersiap-siap, Chandra segera keluar dari rumah mewahnya. Ia berjalan dan menuju mobil mewahnya.

"Silahkan tuan," ucap salah seorang sopir Pak Chandra sambil membuka pintu mobil.

"Terima kasih," ucap Pak Chandra singkat. Pak Chandra segera masuk ke mobilnya kemudian mereka berangkat. Sopirnya melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Namun di saat sang sopir melihat ada seorang gadis yang terbaring di tengah jalan, sang sopir kaget dan spontan mengerem mendadak. Hal tersebut membuat Pak Chandra hampir saja terkena serangan jantung.

"Ton, kenapa tiba-tiba ngerem sih? Yang kamu lakukan ini bahaya!" ucapnya kesal.

"Eh, anu Pak, itu Pak ada orang yang tidur di jalan," jawab Tono sopir Pak Chandra. Ia menunjuk seseorang yang terbaring di jalan depan rumah bosnya. "Hah, kamu cepat turun tolongin dia, dia itu pingsan bukan tidur Ton," ucap Pak Chandra.

"Oh, iya Pak," ucap Tono. Mereka lalu turun dan memeriksa orang tersebut. Ternyata orang itu adalah Alana.

"Ton, kamu angkat bawa masuk rumah, suruh Ibu buat ngobatin anak ini," ucap Pak Chandra khawatir. Entah mengapa, Pak Chandra begitu khawatir melihat Alana yang terbaring lemah di jalan. Ia merasa begitu dekat dengan Alana walaupun Pak Chandra tak mengenal Alana. Tono segera mengangkat Alana dan membawa masuk ke rumah Pak Chandra.

"Jikalau aku tak meninggalkan anakku Alana dulu, pasti dia akan terus bersama-sama denganku dan ia juga pasti akan seumuran gadis itu tadi," ucap Pak Chandra sedih.

Tak mau terus memikirkan anaknya dan berlarut dalam kesedihan, Pak Chandra segera mengikuti Tono yang membawa Alana masuk ke rumahnya. Sesampainya mereka di dalam rumah, Pak Chandra segera memanggil istrinya Linda.

"Maaa!! Mama, sini Ma," panggil Pak Chandra. Bu Linda pun menghampiri suaminya dengan tergesa-gesa dan panik.

"Ada apa Pah, kok teriak-teriak?" tanyanya.

"Ini Bu, ada anak yang pingsan depan rumah kita, sekarang mama obatin deh supaya dia siuman," jawab Pak Chandra. Bu Linda segera menghampiri Alana dengan tatapan penuh kasih sayang dan kekhawatiran. Ia mengelus rambut Alana dan terus memperhatikannya.

"Alana sayang, anak Mama, kamu disini?" ucapnya menitikkan air mata. "Mah itu bukan Alana Ma, lagian dia juga nggak mirip dengan Alana," ucap Pak Chandra sedih.

"Iya Pah, Mama tau, tapi entah mengapa Mama merasa dekat banget dengan anak ini," ucap Bu Linda.

"Mungkin karena Mama rindu banget yah sama Alana, di mana yah anak kita sekarang?" ucapnya lagi sedih.

"Udah Mah, sekarang mama obatin dia, Papa mau berangkat kerja dulu," ucap Pak Chandra.

"Oh Ya udah, hati-hati yah Pah," jawab Bu Linda.

"Iya mah," ucap Pak Chandra dan berlalu pergi meninggalkan istrinya dan Alana.

Bu Linda mengurus Alana dengan telaten. Ia mengusap perut Alana dengan minyak kayu putih, tak lupa juga mengusapkannya pada hidung Alana agar ia segera siuman. Setelah beberapa menit, akhirnya Alana pun sadar. Alana perlahan-lahan membuka matanya dan melihat sekeliling. Ia heran mengapa ia berada di tempat asing yang belum pernah ia datangi. Pandangannya berhenti ketika ia melihat Bu Linda. Ia segera bangun dan menghampiri Bu Linda.

"Eh maaf Bu, saya di mana yah?" tanya Alana.

"Eh, kamu sudah sadar, kamu di rumah saya, kamu tadi itu pingsan dan dibawa suami saya kesini," jawab Bu Linda.

"Ohh iya, makasih yah Bu atas bantuan ibu dan suami ibu," ucap Alana. "Kalau begitu saya mau pamit yah Bu," ucapnya lagi. Alana melangkah ingin keluar namun dicegat oleh Bu Linda.

"Jangan pergi dulu, kamu kan baru sadar, masih lemes," ucapnya.

"Enggak Bu, saya udah kuat Bu, lagian saya juga ada urusan penting," jawab Alana. Dengan berat hati dan terpaksa Bu Linda pun mengizinkan Alana pergi. Walaupun, ia rasanya masih ingin berlama-lama bersama Alana. Namun, sebelum Alana pergi ia memberikannya kantong kresek putih berisi obat yang sudah dibelikannya untuk Alana.

"Ya udah, tapi kamu terima obat ini yah, supaya kalau kamu nggak enak badan atau pusing lagi, kamu langsung bisa minum obat dan sembuh," ucapnya. "Hati-hati yah," ucapnya lagi.

"Iya Bu, terima kasih sekali lagi," jawab Alana sambil menerima kantong tersebut dan berlalu pergi.

Setelah kepergian Alana, Bu Linda membereskan rumah. Namun, ia tiba-tiba merasakan menginjak sesuatu. Bu Linda mengangkat kakinya dan terpampanglah sebuah liontin emas. "Oh, ini mungkin milik anak tadi, tapi kok mirip liontin yang aku belikan untuk Alana dulu yah?" ucapnya heran. "Ah, mungkin saja hanya mirip dengan liontin Alana," ucapnya lagi. Karena penasaran, Bu Linda kemudian membuka liontin tersebut. Dan betapa terkejutnya ia. Matanya membulat ketika melihat foto dalam liontin tersebut.

"Ii-ii-ini kan fotoku, Mas Chandra, dan Alana," ucapnya tak percaya. "Ternyata perasaan aku benar, gadis tadi itu Alana, anakku," ucapnya lagi menitikkan air mata. Ia segera bergegas menelpon suaminya dan mengatakan semuanya kepadanya. Ia meminta suaminya untuk segera pulang ke rumah dan pergi mencari Alana. Pak Chandra pun segera pulang. Setibanya di rumah, ia segera masuk sekaligus tak percaya kalau anaknya Alana sudah ditemukan. Pak Chandra menghampiri istrinya.

"Mah, Alana mana Mah?" tanyanya celingukan mencari keberadaan anaknya.

 

"Alana udah pergi Pah, anak yang papa tolongin tadi itu Alana Pah, anak kita," jawab Bu Linda. Bagaikan tersambar petir di siang bolong Pak Chandra diam seketika. Ia tak percaya, anak yang ia tolong tadi adalah anaknya Alana. Ia sedih karena sebagai orang tua ia tak bisa mengenali anaknya yang ada di dekatnya. "Kenapa aku nggak ngenalin Alana anakku?" ucapnya tak percaya.

"Udah, papa nggak usah mikirin itu, sekarang ayo kita pergi nyusul dan cari Alana sebelum dia makin jauh," jawab Bu Linda.

"Iya Mah, ayo!" ucap Pak Chandra. Mereka pun pergi mencari Alana. Mereka tak henti-hentinya mencari kesana kemari. Hingga tak terasa waktu sudah malam.

"Pahh, Alana mana Pah? Kita udah nyari ke mana-mana tapi nggak ketemu," ucap Bu Linda putus asa dan mulai menitikkan air mata.

"Udah mah, kita nggak boleh putus asa, sekarang kita pulang dulu yah, Mama pasti capek, besok kita cari lagi," jawab pak Chandra.

"Tapi Pa...," ucap Bu Linda ragu.

"Udah mah, besok kita cari lagi yah, mudah-mudahan besok Alana ketemu," jawab Pak Chandra.

"Ya udah Pah, kita pulang," ucap Bu Linda. Dengan berat hati dan terpaksa Bu Linda harus pulang dan berhenti mencari anaknya. Namun, saat berjalan menuju mobil, Bu Linda tiba-tiba menabrak seorang gadis.

"Eh, ma-...," Ucapan gadis tersebut seketika terpotong ketika melihat Bu Linda.

"Loh bukannya ibu tadi yang nolongin aku?" ucapnya. Ternyata gadis itu adalah Alana. Tak menjawab pertanyaan dari Alana, Bu Linda langsung memeluk Alana dengan erat. "Alana, anak Mama," ucapnya.

"Ma-maa…," ucap Alana tak percaya.

"Iya, ini mama Nak dan ini papa kamu," ucap Bu Linda melepas pelukannya dan menunjukkan suaminya.

"Ini liontin kamu kan?" tanya Bu Linda.

"I-i-iya mah, itu liontin aku," jawab Alana mulai menitikkan air mata. Akhirnya setelah penantiannya selama 14 tahun, ia bisa kembali menemukan orang tuanya.

Pak Chandra menghampiri mereka berdua. Giliran ia memeluk Alana. "Maafin papah dan mamah yah Nak karena dulu kami pernah ninggalin kamu sendirian di jalan," ucapnya sedih.

"Nggak papa pah, yang penting sekarang kita kumpul lagi," jawab Alana menyambut pelukan ayahnya dan senang. Mereka bertiga tertawa bahagia dan berpelukan.

Sejak saat itu, Alana kembali hidup bersama kedua orang tuanya. Ia juga sudah menceritakan tentang Andi dan Putri yang sudah merawatnya sejak kecil. Ia juga terkadang berkunjung ke rumah Andi dan menceritakan tentang kedua orang tuanya. Andi turut bahagia jika Alana sudah menemukan kedua orang tuanya, dan mereka sudah mengurus Alana dengan baik. Putri juga meminta maaf kepada Alana karena sikapnya selama ini yang kasar kepadanya. Kehidupan Alana kembali bahagia. Ayah dan Ibunya sangat menyayanginya. Ia juga bersyukur karena dari kehidupannya ia dapat belajar untuk terus berjuang apapun keadaannya. Menurutnya, jika kita terus berjuang maka hasil yang kita dapatkan juga tidak akan mengkhianati perjuangan kita.

Posting Komentar untuk "Cerpen: PERJUANGAN ALANA"