Cerpen: MISTERI DESA SENGAP

Misteri Desa Sengap

Oleh Valentino Ressa

(Siswa UPTD SMPN 3 Tobadak)

Di suatu tempat, tersembunyilah suatu harta. Harta ini bukan emas atau berlian, melainkan naskah sumpah pemuda yang sudah lama hilang dan merupakan benda pusaka. Naskah itu milik sebuah desa yang penduduknya yang tidak ingin berbicara lagi. Satu-satunya cara untuk membuat mereka berbicara adalah dengan mengembalikan harta pusaka mereka yakni naskah sumpah pemuda.

Suatu waktu terdapat sebuah desa yang diberi nama Desa Sengap. Nama itu diberikan oleh seorang ilmuan yang datang berkunjung ke desa itu. Ilmuan itu terheran-heran terhadap tingkah laku masyarakat di Desa Sengap, yang sama sekali tidak ada yang berbicara. Bak berada di dalam hutan, seperti itulah keadaannya. Entah apa yang terjadi pada mereka, sampai-sampai membuatnya tak ingin bicara. Banyak orang berusaha mencari tahu penyebabnya, tetapi hingga berwaktu-waktu berlalu misteri itu belum bisa dipecahkan.

Namun, misteri itu perlahan-lahan mulai luntur ketika dua orang pemuda datang ke Desa Sengap. Namanya adalah Rean dan Ramlan. Mereka hanya orang biasa, tetapi karena kemampuannya memecahkan misteri Desa Sengap membuat mereka menjadi terkenal.

Hari itu Rabu, pada bulan Oktober. Hari itu Rean berkunjung ke Desa Sengap. Sesampainya di sana, Rean dibuat kebingungan oleh apa yang dilihatnya. Bagaimana tidak dibuat bingung, keadaan di sana sangat sunyi. Rasa-rasanya seperti berada di desa yang tidak ada penghuninya. Rean lalu menemui salah seorang penduduk di Desa Sengap dan kemudian bertanya. Tetapi hal yang tak disangka-sangka Rean justru terjadi. Orang itu malah pergi meninggalkan Rean tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Bukan hanya seorang saja, mungkin sudah belasan orang yang ditemui Rean berperilaku seperti itu.

Rean lalu berusaha mencari tahu penyebab penduduk Desa Sengap berperilaku seperti itu. Namun, hingga hingga sinar surya tenggelam misteri itu belum bisa dipecahkannya. Rean terpaksa memutuskan untuk menginap di sebuah penginapan tua di desa itu. Tetapi, ia masih belum puas jika belum memecahkan misteri itu. Rean lalu memilih untuk melepas penat di luar rumah, sambil memandangi ribuan bintang yang bertaburan di angkasa. Tak lama setelah ia berbaring, Rean jatuh tertidur.

Pagi hari sudah datang, tampaklah suatu cahaya yang menerobos celah pepohonan. Cahaya itu kemudian mengenai Rean dan membuatnya terbangun dari tidurnya. Tak berselang lama kemudian, sebuah mobil terlihat mampir di dekat Rean. Dari dalam mobil itu turunlah seseorang. Rean lalu menghampiri orang itu.

"Salam wahai engkau. Ada keperluan apa Anda datang ke tempat ini?" sapa Rean dengan lembut.

 "Aku ingin mencari tahu misteri di desa ini," jawab orang itu.

 "Bagaimana bisa engkau mengetahui jika desa ini memiliki misteri, dan siapa kau?"

 "Namaku Ramlan aku keturunan dari Muhammad Yamin. Ini kedua kalinya aku datang ke tempat ini. Pertama kali aku ke sini ketika berlibur bersama orangtuaku. Jadi, wajar saja kan jika aku mengetahui desa ini memiliki misteri."

 "Ternyata kau keturunan pahlawan. Kalau begitu perkenalkan namaku Stevanus Rean, panggil saja Rean. Jadi, apa kau tahu jawaban dari misteri itu?"

"Soal itu aku kurang tahu. Yang jelas kata orangtuaku, dulu ada tiga makam keramat di desa ini. Tetapi, tanpa alasan yang jelas makam itu tiba-tiba menghilang. Jadi, menururku penyebab masyarakat di sini tak bisa berbicara pasti ada hubungannya dengan hilangnya makam keramat itu."

 "Begitu ya. Keadaannya sekarang semakin dilema."

 "Dilema? Apa itu dilema? Aku baru mendengar kata itu."

 "Jadi kau tidak tahu apa itu dilema? Dilema itu situasi yang sulit dan membingungkan. Kupikir kau sangat mahir berbahasa Indonesia, jadi kugunakan kata itu."

"Sebenarnya di rumah, aku lebih sering belajar dan menggunakan bahasa asing dibanding bahasa Indonesia. Menurutku bahasa asing sangat keren."

 "Ramlan, kamu tahu tidak? Belajar bahasa asing itu boleh-boleh saja. Tetapi jangan sampai bahasa itu menggantikan bahasa asli kita. Kamu tahukan, kalau bahasa Indonesia yang mempersatukan bangsa ini?  Kan sudah tercantum dalam sumpah pemuda yang dibuat oleh nenek moyangmu Muhammad Yamin, yaitu menjunjung tinggi bahasa Indonesia. Harusnya kamu berpikir bahwa bahasa Indonesia lebih keren dibanding bahasa asing." ujar Rean kepada Ramlan.

 "Aku ternyata tidak menyadari hal itu. Sumpah yang harusnya kupegang malah kulepaskan. Kalau begitu mulai dari sekarang aku ingin belajar untuk lebih mencintai bahasa Indonesia dibanding bahasa asing."

 "Nah, itu baru pemuda Indonesia."

Matahari sudah hampir tenggelam, langit juga sudah mulai mengganti warnanya, menandakan malam hari akan datang. Rean dan Ramlan berangan-angan akan tidur di luar rumah dan mendirikan suatu tenda, sambil menikmati sejuknya udara malam. Sekarang waktu tepat pukul 12 malam, tiba-tiba terdengar suara seperti meja bergetar dari dalam rumah. Rean dan Ramlan masih dalam keadaan tidur. Namun,  semakin lama suara bergetar itu semakin keras terdengar, sehingga membuat Rean terbangun dari tidurnya.

 "Suara apa itu? Ramlan, apa kau mendengarnya?" ucap Rean dengan sedikit takut.

  Tiba-tiba suara itu semakin keras terdengar, sehingga membuat Rean semakin ketakutan.

 "Ramlan...  Ramlan... bangun Ramlan!!!" kata Rean sambil menggoyangkan tubuh Ramlan.

Ramlan tak kunjung bangun, terpaksa Rean memutuskan untuk memberanikan diri mencari tahu sumber bunyi itu sendirian. Rean kemudian masuk ke dalam rumah penginapannya. Alangkah terkejutnya ia ketika melihat salah satu meja di rumah itu bergetar dan tampak dari laci meja itu keluar cahaya. Ketakutan Rean saat itu dapat dilihat dari tubuhnya yang gemetar dan diguyur oleh keringat. Tetapi, Rean terus bersikeras untuk mendekati meja itu walaupun ia sangat ketakutan. Sesampainya di meja itu, keadaan mulai berubah, meja itu berhenti bergetar. Namun, laci meja itu masih tampak mengeluarkan cahaya. Rean lalu membuka laci itu dan seketika cahaya keluar dan menyoroti wajah Rean. Di laci itu Rean melihat selembar kertas dengan tulisan di atasnya. Kemudian kertas itu diambil dan dibacanya.

"Kutukan Sumpah? Ini apa?" ucap Rean ketika membaca judul yang tertulis di kertas itu.

"Mereka telah melanggar apa yang menjadi janji mereka, yaitu 'Sumpah Pemuda'. Mereka sendirilah yang berjanji kepada kami bahwa akan mematuhi ketiga janji itu dan jika salah satunya dilanggar maka mereka siap menerima hukumannya. Tetapi salah satu dari ketiga janji itu dilanggar oleh mereka. Mereka merusak bahasa Indonesia dengan mengubah kata-katanya menjadi tidak sopan didengar. Maka sebelum bahasa itu menyebar kami terpaksa mengutuk mereka dengan menghilangkan suaranya serta membuat mereka tak ingin mengenal orang lain. Kejadian saat itu berlangsung tepat pukul 12 malam di hari Jumat. Gempa dahsyat pun terjadi di desa saat itu. Tiga makam keramat di desa itu kemudian hilang setelah gempa itu terjadi. Hilangnya makam itu menyebabkan naskah sumpah pemuda terbelah menjadi tiga. Ketiga pecahannya itu kemudian mendiami makam yang hilang itu. Satu makam berada di pedalaman hutan, satunya lagi berada di tepi Sungai Juras, dan makam yang terakhir berada di Kaki Gunung Berapi. Jika ketiga naskah yang berada di ketiga makam itu berhasil dikembalikan ke desa maka penduduk yang melanggar sumpah itu akan terbebas dari kutukan.”

"Wah, ternyata ini jawabannya," kata Rean setelah membaca surat itu.

Rean berencana untuk menunjukkan surat itu kepada Ramlan. Namun, ketika ia berbalik Ramlan tiba-tiba muncul di hadapannya.

"Hah... kau membuatku terkejut. Mengapa kau tiba-tiba muncul?" kata Rean dengan kesal.

"Maaf, tadi aku mencarimu dan ternyata kau berada di sini. Apa yang kau lakukan di tempat ini?" kata Ramlan.

"Tadi aku melihat meja ini bergetar dan ketika kubuka lacinya terdapat sebuah surat di dalamnya. Coba kamu baca!" ucap Rean sambil memberikan surat kepada Ramlan. Setelah Ramlan membaca surat itu, ia lalu menarik tangan Rean dan menuju ke tenda.

"Eee... kita mau ke mana?" tanya Rean.

"Kita harus bersiap-siap untuk mencari naskah itu. Cepat kemas barangmu!" ucap Ramlan dengan serius.

"Baik…baik… Tapi, setahuku sumpah pemuda dibuat untuk semua orang, kenapa desa ini jika melanggar dihukum, sedangkan kita tidak?"

"Mungkin saja, dulu penduduk di desa ini berjanji untuk mematuhi sumpah pemuda dihadapan makam keramat itu. Lalu mereka meminta untuk dihukum jika melanggar."

"Mungkin saja."

***

Setelah mengemas barang, mereka lalu menuju ke pedalaman hutan di dekat Desa Sengap. Sayup-sayup suara pohon yang diterjang angin dan kicauan burung hantu terdengar di saat itu. Rean sangat ketakutan, apalagi saat itu malam hari. Ramlan sama sekali tidak menunjukkan ekspresi ketakutan, ia malah fokus untuk mencari makam keramat di pedalaman hutan.

"Ramlan kamu tidak takut? Ini  kan malam hari, di hutan lagi," ucap Rean.

"Ibuku pernah berkata kepadaku, bahwa di saat kakekku merumuskan sumpah pemuda, beliau mempunyai semangat dan keberanian yang begitu tinggi sehingga terwujudlah impiannya dalam membuat sumpah pemuda. Tujuannya untuk membakar semangat pemuda di saat itu, demi merebut kembali bangsa dan tanah air ini. Jadi saya sebagai salah satu pemuda, harusnya memiliki semangat dan keberanian seperti itu dalam melakukan sesuatu, seperti saat ini," ujar Ramlan.

"Baiklah, kalau begitu saya juga harus berani. Jalan-jalan ke hutan melati, hati-hati ketemu mbak kunti...!!!" canda Rean berpantun mencairkan ketakutannya.

Setelah beberapa jam menyusuri hutan, mereka pun akhirnya menemukan makam yang pertama. Mereka lalu mendekati makam itu, tiba-tiba dari dalam makam itu keluar cahaya yang di atasnya terdapat suatu surat. Ramlan lalu mengambil surat itu dan membacanya.

"Ternyata ini salah satu naskah sumpah pemuda yang hilang itu. Rean, letakkan ini di  dalam tasmu!" kata Ramlan.

"Baik. Tapi apakah makam ini akan tetap berada di sini?" tanya Rean.

"Mungkin saja makam ini akan kembali ke Desa Sengap jika kita berhasil menemukan ketiga naskah itu," balas Ramlan.

Waktu sudah menunjukkan pukul 03:00, Rean dan Ramlan sudah sampai di tepi Sungai Juras. Mereka lalu menyusuri sungai itu, hingga beberapa menit kemudian, mereka akhirnya menemukan makam yang kedua dan terletak di bawah pohon beringin tua. Hal yang sama terjadi seperti di makam sebelumnya, sebuah cahaya keluar dari dalam makam dan di atasnya ada surat. Ramlan lalu mengambil naskah kedua sumpah pemuda itu dan meletakkannya di tas Rean.

"Rean, kita sudah menemukan kedua naskahnya, tersisa satu lagi. Kita harus berusaha mendapatkannya walaupun risikonya besar!" ujar Ramlan.

"Kau benar. Sekarang kita hanya tinggal mencari makam yang terakhir. Di surat tertulis bahwa letaknya berada di bawah kaki Gunung Berapi," kata Rean.

"Tapi di mana gunung itu?" tanya Ramlan.

"Kalau tidak salah, sekitar lima kilometer dari sini ada sebuah Gunung Berapi."

"Kalau begitu ayo kita ke sana!"

Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh, akhirnya Rean dan Ramlan sampai di gunung itu. Matahari juga sudah mulai menampakkan dirinya. Namun, ternyata di makam yang terakhir, Rean dan Ramlan menemui sesuatu yang paling tak diinginkannya. Seseorang yang tampak pucat dan hitam berdiri di dekat makam yang terakhir.

"Siapa kalian? Berani-beraninya kalian datang ke tempat ini. Apa kalian tidak tahu jika tempat ini sangat terlarang?" kata orang misterius itu dengan tegas.

"Maaf Pak, maksud kami datang ke sini bukan untuk berbuat jahat. Kami hanya ingin mengambil naskah terakhir sumpah pemuda di makam itu," jawab Rean.

Seketika orang misterius itu menghilang begitu saja sehingga membuat Rean sangat ketakutan. "Ramlan, Ramlan, apa itu tadi? Mengapa orang itu tiba-tiba menghilang?" kata Rean dengan takut.

"Sepertinya dia penunggu di gunung ini. Sudah!!! Kamu tidak usah takut Rean! Ingat saja pada Tuhan!" kata Ramlan untuk menenangkan Rean.

Mereka lalu menuju ke makam itu, tiba-tiba kertas yang ditemukan Rean ketika di Desa Sengap menuju ke makam itu berubah. Sangat ajaib kertas itu yang awalnya berisi jawaban dari misteri Desa Sengap, berubah menjadi naskah ketiga sumpah pemuda. Ramlan dan Rean sangat kagum melihat hal itu. Mereka tidak menyangka hal seperti itu bisa terjadi.

Matahari sudah menunjukkan dirinya secara penuh, Rean dan Ramlan kembali ke Desa Sengap dengan membawa ketiga naskah itu. Mereka sangat senang atas apa yang dilakukannya. Usaha mereka ternyata tidak sia-sia. Tanpa kerjasama, semangat, dan keberanian saat itu, mereka pasti tidak bisa menemukan ketiga naskah itu.

Ramlan dan Rean akhirnya sampai di Desa Sengap. Mereka lalu membawa ketiga naskah itu ke laci rumah penginapan tua tempat Rean menemukan sebuah surat, lalu memasukkannya ke dalam laci. Tidak lama kemudian keajaiban kembali terjadi, ketiga naskah itu menyatu dan membentuk naskah sumpah pemuda yang utuh. Untuk kedua kalinya, Rean dan Ramlan sangat kagum melihat hal itu. Mereka lalu keluar dari rumah penginapan tua, dan di sana mereka disambut dengan riang oleh penduduk Desa Sengap. Mereka sangat berterimakasih kepada Rean dan Ramlan karena telah mengembalikan kehidupan Desa Sengap, serta harta pusaka mereka yaitu naskah sumpah pemuda. Penduduk itu sadar atas apa yang mereka perbuat dan berjanji tidak akan mengulangnya lagi.

"Akhirnya, mereka sudah bisa berbicara," kata Ramlan.

"Ya, kau benar," balas Rean sambil tersenyum kepada Ramlan.

Ramlan lalu mengajak semua penduduk desa itu untuk ke makam keramat di desa itu. Di sana mereka melakukan doa bersama agar kejadian seperti dulu lagi tidak kembali terjadi.

***

Bertahun-tahun berlalu. Rean telah menjadi pemuda yang tidak hanya gagah, tetapi juga menjadi penulis terkenal di tanah air. Salah satu karya cerpennya yang terkenal ialah 'Misteri Desa Sengap'. Ramlan pun hidup sejahtera dan memimpin sebuah desa yang pernah menjadi misteri. Ia Kepala Desa di Desa Sengap.

Posting Komentar untuk "Cerpen: MISTERI DESA SENGAP"